Boleh, kan?
“Kak, aku tertarik padamu. Boleh aku mengenalmu lebih lagi?”
Keheningan malam ini terpenuhi hanya oleh bayangmu menyelimuti pikiranku.
Diriku menerka, kau seperti angin yang datang tanpa suara.
Saat aku dekat denganmu, seketika dimensimu berubah dan segala hal menjadi begitu cepat.
Kau seperti bayangan yang menghindar, selalu dekat, namun tak pernah tampak jelas,
hanya melintas tanpa menyentuh, seolah tak ingin terlihat.
Kau tergesa-gesa melakukan segala sesuatu,
seolah-olah waktu yang tak memberi peluang untuk berhenti sejenak.
Kata-katamu hanya jatuh pada mereka yang terbiasa membaca bahasa rumit,
sementara aku? Entahlah bagaimana aku di matamu.
Kau tak pernah mau berbicara denganku,
bahkan untuk sekedar menatap saja enggan.
Sungguh, tak jarang kudapati diriku ingin menjadi seperti mereka, yang dengan mudah menepuk pundakmu dan dengan lapang dada kau sambut dengan senyuman hangat.
Kok bisa ada yang sepertimu?
Coba sesekali tatap mataku, kak. Satu kesempatan tak akan melelahkan, bukan?
Anehnya lagi…meski kau menyebalkan,
ada bagian dari diriku yang justru menikmati kekacauan yang kau bawa.
Aku memang bukan orang yang sempurna.
Aku pun tak ada apa-apanya jika disandingkan dengan mereka yang pernah singgah di hatimu.
Meski beberapa orang sempat singgah di hidupku, dengan bermacam-macam latar belakangnya,
hatiku keras.
Hatiku tahu kemana ia ingin pergi.
Seorang pernah berkata, “rela menunggu seseorang itu tidak berarti bodoh, itu hanya berarti teguh pendirian”.
Here I am, always aware of taking risks, but, you are worth the risks. You are worth every sticks and stones.
Setidaknya, perkenankan aku untuk mencintaimu dengan segala kelemahan dan ketulusan yang ada dalam diriku.
Kalau-kalau ‘penantian’ mengharuskanku menunggu seribu tahun lamanya, pasti akan kunanti.
Comments
Post a Comment