"Dia yang Mencari Rumah" - cerita dari telefon genggam
Tik tik tik, kini suara rintihan hujan terdengar dari balik jendela. Malam ini dingin menyelimuti ruang, aku terbaring di atas ranjangku menatap kosong ke arah langit-langit kamar.
Kringggg – nada dering handphoneku berbunyi, ada panggilan masuk.
“Halo?” sapaku.
“Halo, apa kabarmu hari ini?” tanyanya.
Suara ini, suara yang aku rindukan setiap hari. Suara yang selalu menemani hari-hariku, tidak ada satu hari pun terlewati tanpanya.
“Halo? Viori, kau mendengarku?” tanyanya lagi menunggu balasan dariku.
“Iya aku mendengarmu. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” sahutku. Obrolan kami memang selalu dimulai dengan pertanyaan ini dan berakhir dengan segala hal yang sedang pria ini rasakan dan pikirkan.
Ia adalah seorang pria berkebangsaan Korea Selatan yang tak sengaja aku temui saat aku berkunjung ke negaranya. Namanya Absalom, dalam bahasa Ibrani artinya bapak perdamaian. Pantas sekali untuknya, mengingat damai yang aku rasakan setiap kali aku berbincang dengannya. Aku tidak pernah menyangka kita akan jadi sedekat ini. Bukan jarak yang aku bicarakan, karena sudah tentu sekarang aku berada di tanah airku, Indonesia. Kami memiliki cara sendiri untuk berkomunikasi dan dia pun selalu memiliki caranya sendiri untuk membuatku tertawa. Orang-orang yang melihatku pasti akan menganggapku gila.
Kudapati mata pria muda itu terpejam sepanjang lagu penyembahan berbahasa Indonesia dilantunkan. Terkadang ia membuka mata dengan tatapan penuh perhatian dan kerutan di bibirnya yang memberiku gambaran jelas tentang hal yang paling dinikmati, seolah-olah berkata “Aku mencoba fokus dalam setiap lirik yang diucapkan. Mungkin aku dapat mengerti sesuatu?”. Alih-alih mencoba masuk ke dalam dimensi itu, alih-alih memberi ruang bagi orang lain mengumandangkan berita indah sorgawi, justru juga membuka peluang seseorang memperhatikannya. Sepasang mata bola yang memancarkan keheningan penuh pesona, mencuri pandang - seolah pendeta berada tepat di samping kanannya - baginya hal-hal lain buram, hanya dia yang terlihat jelas. Dan asal kau tau, tentu itu bola mataku.
Ketika Worship Night selesai, buru-buru aku menghampiri teman seperjalanan di negeri Ginseng ini.
“Bisakah kau membantuku?” aku berbisik.
“Ada apa?” suaranya mengecil mengikuti volume bicaraku.
"Kau lihat orang itu, sedari tadi aku perhatikan betapa fokusnya dia. Bisa kau tanya-tanya dia? Aku terlalu malu untuk melakukannya” pintaku. Sejujurnya inilah permintaanku kepada pria paruh baya yang kerap kusapa William, ia mengerti maksud dan tujuanku.
“Kau menyukainya ya?” tanya William menggodaku. “Ssstt kecilkan sedikit suaramu, nanti dia dengar” sahutku berusaha menahan malu.
“Kau tenang saja. Aku akan bereskan” jawabnya.
William meminta diri dari hadapanku dan pergi menghampiri pria itu. Aku pergi menjauh dari ruang utama, berjalan memasuki ruangan kecil yang hanya dihalangi oleh kaca. Aku duduk di ruangan itu, mengatur posisi yang nyaman untuk melihat pertemuan mereka. Dapat kulihat bagaimana dalam 5 menit mereka sudah bercanda tawa, seperti karib lama yang bertemu lagi setelah sekian lama. William sangat handal dalam membuka pembicaraan dengan orang baru, memang tak perlu diragukan lagi keahlian dari tour guide yang satu ini. Kulihat mereka tidak terlalu lama berbincang, kemudian William menghampiriku.
“Namanya Absalom. Dia berumur 31 tahun, seorang penginjil, jadi dia menginjil di jalanan” kata William memecahkan keingintahuanku.
“Sungguh, Will? Baru kali ini kudapati orang muda yang seperti itu” jawabku takjub, tidak dapat kututupi wajah luguku yang terkejut mendengar semua itu.
“Kau makin suka, kan? Dia datang dengan mamanya, memiliki putra berumur 10 tahun..dan…sudah menikah” lanjut William. Mataku terbelalak mendengar kata terakhir, sudah menikah…?
“Wah, sudah-sudah jangan dilanjutkan, Will. Ini sudah lebih dari cukup” wajahku memerah padam, aku sedih bercampur malu. Jujur saja, aku tidak mau mendengar lebih daripada itu.
“Tidak apa-apa, kalian kan bisa menjadi teman. Aku percaya kau bisa memposisikan dirimu dengan baik, bawa perasaanmu ke titik yang aman, titik nol, Viori.”
***
Dibayanganku ia menghidupi suatu cerita paling indah di dalam sejarah, atau bahkan film-film keluarga cemara yang semua orang harapkan. Di balik canda tawa dan senyum hangat itu tersimpan kepedihan yang begitu mendalam. Kepedihan yang bahkan tak terucap olehnya, sesuatu yang menahannya untuk mengungkapkan lebih dari sekedar perasaan bersalah dan penghinaan atas dirinya sendiri. Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalunya, namun aku rasa itu cukup membuatnya merasakan trauma yang berat. Dia, yang mengalami minggu yang berat, yang sepertinya selalu berada di bawah awan badai. Yang merasa tak terlihat, yang tak tahu berapa lama lagi bisa bertahan. Dia, yang selalu keras pada pendiriannya. Orang-orang mungkin akan menilainya keras kepala, namun aku percaya ia hanya ingin didengarkan.
"Viori" suaranya memanggil lagi dengan perlahan.
"Ya? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" jawabku seolah paham maksudnya.
"Aku merasa gundah sekali sekarang. Mengapa orang-orang begitu menolak Injil? Aku sedih membayangkan perasaan Allahku sedih melihat mereka membangkang seperti ini.” katanya.
“Semua butuh waktu. Tugasmu adalah terus memberitakan Injil, selebihnya Tuhan yang akan mengatur semuanya.” ucapku.
“Betul katamu", jawabnya dengan volume suara yang semakin menurun. Aku dapat merasakan bahwa masalahnya tidak sampai di situ saja. Seolah hatiku pun ikut menulusuri lubuk hatinya yang paling dalam. Setidak-tidaknya dapat kurasakan bahwa baginya rumah tak lagi terasa seperti rumah. Suara bergetar menahan pedih keluar dari mulutnya ketika berusaha mengatakan “Istriku dekat namun terasa begitu jauh.” Mimpi buruk bagi setiap pasangan tentunya. Hal di mana seharusnya hubungan pernikahan didasari dengan berkomitmen pada Kristus, bertumbuh bersama di dalam Tuhan, saling mendukung satu sama lain dalam perjalanan rohani, membesarkan anak dalam takut akan Tuhan - kalimat ini aku dapatkan dalam buku The Sacred Search karya Gary L. Thomas yang ingin kubagikan pada kalian yang sedang mencari pasangan hidup - nyatanya hal itu sirna begitu saja, seperti kilat yang menyambar pohon dengan begitu cepat dan menyebabkan kehancuran yang parah.
Dapat kusimpulkan bahwa ada begitu banyak hal yang terpendam dalam pikirannya. Dia bingung akan dibawa kemana semua itu dan kepada siapa bisa menumpahkannya. Ia selalu bertahan untuk Noah, anaknya. Ia pernah berkata "Aku tidak akan pernah melepaskan istriku, apa yang sudah dipersatukan Tuhan tak boleh aku pisahkan. Ini demi anakku dan masa depan anakku, dan aku masih menyayangi istriku berharap suatu saat nanti ia dapat memahami aku. Kumohon selalu doakan aku ya". Dan di sinilah peranku berada; aku selalu berusaha menjadi orang yang memahaminya, menemaninya memperbaharui iman setiap harinya, di saat orang yang sebenarnya sangat diinginkannya justru tidak menginginkannya.
(fiksi)
Comments
Post a Comment